Ini bunga masa kecilku, serupa trompet mungil merah dan putih bergelantungan. Bunga dengan tangkai dan batang yang hijau, bijinya apabila sudah matang akan berwarna kehitam-hitaman. Orang-orang ada yang menyebut bunga pukul empat, karena sekitar pukul empat sore itulah ramai kuncup bunga bermekaran. Kami namai ia Kumbang bi kumbang dibi, bunga sore hari.
Mungkin bagi kebanyakan orang bunga ini tak istimewa, tapi biarpun begitu bagiku ia selalu mendapat tempat istimewa dalam ingatan. ingatan yang mengantarku pada sore yang sederhana pada sore yang penuh warna, pada seorang anak laki-laki kecil dengan tangan mungilnya meronceng kuntum demi kuntum lantas melingkarkannya keleher dan kepalaku dan kami bermain hingga lupa waktu, lupa makan, lupa segalahal, sampai terdengar lantang suara ibu menyuruh segera pulang.
Kumbang bi, kembang kenangan itu, kau bentangkan peristiwa ketika kami bisa membuat mainan sendiri dari bahan apa saja; pelepah pisang, kulit jeruk bali, tempurung papaya dan kelapa, daun nangka menjadi mahkota dan lain sebagainya. Meski sederhana, tapi senyum kami tak henti bermekaran. Kami juga berkerabat dengan hujan, terik matahari, air dan lumpur jalan, juga ombak yang tak henti menggapai pantai labuhan jukung. Tapi semua telah berlalu, kini kulihat anak-anak kecil yang lebih suka berkunjung ke game zone. Andi gila main Play Station dan mobil-mobilan produksi luar negeri. Atau tengoklah Dewi yang sudah pandai memencet-mencet tombol smart phone, padehal ia belum lulus taman kanak-kanak.
**
Suatu sore di Tanjung karang, ramai orang memacu kendaraan disepanjang jalan kartini, semua tampak tergesa-gesa, Mungkin ingin lekas beristirahat, hendak jalan-jalan, kencan dengan kekasih atau apa saja. Entahlah, kulambatkan laju mobil ketika masuk sebuah perempatan. Lampu merah menyala, Sembari menunggu lampu menyala hijau ku nikmati alunan music di mobilku. Tapi tak lama kemudian mataku tertuju pada serumpun bunga yang bermekaran diseberang jalan. Bunga yang indah kokoh dan hijau.
Aku tercekat, itu kumbang bi ,bunga masa kecilku. Ingatanku kembali pada sosok bertubuh tegap dengan sorot mata tajam dan rambut ikal sedikit mengkilap. Aku tersenyum-senyum sendiri. Mengenang anak lelaki yang selalu menjaga dan menemaniku dari gangguan anak-anak lain. Ia yang kerap meredakan tangisku kala jatuh dari sepeda. “sini,aku pakaikan bunga ini di kepalamu”ujar Hendri ketika itu. Tak berselang lama kumbang bi telah melekat dileher dan kepalaku.
Hendri, dimana kamu sekarang? Apa kamu masih ingat masa-masa itu? Atau malah telah terkubur sejak kita berpisah dulu?gumaku. Suara klakson kendaraan membuyarkan lamunan. Lampu telah berubah hijau.
Ya, kumbang bi membuat sosok Hendri kembali hadir ketika rumah tanggaku tak mampu kuselamatkan. Mungkin karena dulu kami pernah sama-sama berjanji untuk hidup bersama.Tapi barangkali ia sudah lupa, pasti ia sudah punya anak satu atau dua. Kami berpisah setelah sama-sama lulus SMP, ketika keluargaku memutuskan pindah ke Tanjung Karang. Semenjak itu tak kudengar lagi kabar tentangnya.
Dua puluh tahun sudah, banyak peristiwa kulewati,tapi ketika kulihat kumbang bi diseberang jalan, Hendri dan kenangan-kenangan semasa di kampung kembali menyeruak, Semua Nampak masih begitu jelas,wajahnya, rambut hitamnya, bentuk tubuhnya dan senyumnya.
Ia sahabat terbaik yang pernah kumiliki atau bahkan mungkin lebih. Ada pendar dimatanya, ada getar didadaku yang tak bias dicerna nalar oleh anak seusia kami ketika itu. Entahlah, sekian lama aku seperti tak mengenal lelaki lain. Dia membuat kamarku penuh bunga, bintang dan kunang-kunang.
ada semacam dorongan yang kuat mengusaiku, hingga kuputar mobil untuk mengambil arah berbeda, berbelok arah. Aku tersenyum ketika telinga serasa pekak oleh suara klakson dari kendaraan di belakangku.Hujan sebentar lagi tumpah, niatku sudah bulat, kudatangi lagi area parkir, dimana kumbang bi berada. Kuputuskan tidak segera pulang, kuabaikan langit yang disesaki awan hitam. sesampainya disana,aku berjongkok dirimbun bunga itu, sibuk mencari biji hitam yang bias kutanam dipekarangan rumah. Aku tak menemukannya, Ada banyak biji tapi masih sangat muda, Aku tak mau putus asa, kusibak rumputan, dan akhirnya kutemukan tunas baru, lega rasanya,langit seolah berubah menjadi biru.
Kini kumbang bi tertanam sudah dihalaman, sesekali kuperiksa lagi album lama, kunikmati sebuah foto yang menguning dimakan usia. Foto kami berdua tersenyum malu-malu dalam balutan seragam putih biru, sementara anganku mengembara mebayangkan seperti apa rupa nya, seperti apa kehidupannya.
Seperti biasa, aku disibukkan dengan tugas kantor yang menumpuk, keningku berkerut, tapi sejujurnya bukan soal pekerjaan yang membuat kepalaku mau pecah.Tapi ini tentang kumbang bi dan kenangan yang sudah berhari-hari mengendap dikepalaku. Sepertinya aku perlu mengajukan cuti untuk waktu yang cukup lama, aku ingin mengumpulkan kepingan masa kecilku yang belum selesai.
Berbekal beberapa nama kerabat aku membulatkan tekat kesana, ke kapung yang sudah bertahun tahun tak pernah aku datangi lagi. tak ada yang tahu persis sesungguhnya untuk apa aku mesti pergi, aku tidak mau keluarga dan teman-teman menganggap aku gila, bagaimana tidak, aku harus menempuh perjalanan darat selama seharian hal mudah dan menyenangkan, ditambah jalanan yang payah dan tak ada alasan lain pula kecuali untuk menelusuri kenangan yang mungkin pada akhirnya akan sia-sia. Maka sempurnalah kegilaanku.
Bus yang kutumpangi sampai dikota kecamatan. Masih dua jam perjalanan lagi yang meski kutempuh untuk sampai tujuan. Kutembus hutan bukit barisan dengan sedikit waswas, akhirnya setelah melewati banyak tanjakan, jalanan yang aspalnya telah mengupas, sampai juga. Kumbang bi dimanakah engkau, mengapa tak lekas kau sapa aku???
Sepi
Sepi
Hanya desir angin, hanya daun-daun yang bergoyang, Apakah perjalananku sia-sia? Mengapa aku tak menemukan apa-apa disini, bahkan petunjuk kecil tentang keberadaannya, gumaku setelah beberapa jam menelusuri jalan di kampung.
“oh,nak hendri dan keluarga sudah lama pindah, tidak tahu kemana pindahnya”ujar salah satu tetangganya, jawaban yang sama tiap kali aku bertanya pada yang lainnya, malah ada yang tidak tahu siapa Hendri, ternyata tidak lama keluarga kami pindah Hendri juga melakukan hal yang sama.
Disini aku masih menemukan beberapa kumbang bi dipinggir jalan, tapi tak ada yang berkalung dan bermahkota kumbang bi seperti dulu. Hampir satu minggu aku mencarinya. Tak ada hasil, seperti dugaanku, aku kembali.
pekerjaan kantor yang menumpuk akhir-akhir ini kerap membuatku pulang lebih larut meski begitu, aku masih berharap sebuah keajaiban agar tuhan sedikit bermurah hati mempertemukanku dengan Hendri, doa kulantunkan hampir setiap saat.
Malam mulai larut, setelah membereskan pekerjaan, kupacu kendaraan menembus Tanjung Karang yang sebagian penghuninya sudah lelap, lembut suara Kenny G mengalun menemaniku melewati jalan yang sama setiap hari, malam ini jalanan lebih sepi dan lenggang, barangkali karena hujan seharian menyebabkan orang enggan meninggalkan rumah.
Tiba-tiba jalanan yang tadinya sepi, dipekakkan suara bising beberapa kendaraan bermotor, mereka nggapit mobilku, mengetuk ngetuk jendela kaca, aku kaget, ada gelagat buruk, sebuah sepeda motor melintang di depanku, kuhentikan kendaraan dengan mendadak, tiga orang pengendara motor lain turun lantas megedor pintu mobil dan menyeret paksa aku keluar, dengan senjata menempel dileher, napasku sesak, tangan dan kakiku gemetar, aku meronta sekuatnya, sementara satu orang masuk kemobil membongkar dan mengobrak abrik apa saja yang ada didalamnya.
Entah dorongan apa yang membuat mataku bersitatap dengan orang yang kini mengacak-acak mobilku. Sepasang mata itu juga menatapku, terbelak tak percaya, mulutnya menggangga, lantas dengan segera ia melompat keluar, menghempas pintu mobil keras dan berteriak ”siiiiiiiiiiaaaaaaallllllll”. Dia lantas memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi, meninggalkanku yang masih bersimpuh ditanah.
Tangisku pecah, aku terkejut, tapi sungguh, kali ini bukan karena keselamatanku nyaris terancam, bukan karena aku nyaris mendari korban tindak kriminal, tapi karena aku yakin bahwa sepasang mata itu milik Hendri.