By : elly dharmawanti
*
Di jalanan itu, tiba-tiba Lita merasa terlempar ke sebuah ruang. Sebuah tempat yang dulu kerap dikunjunginya bersama Fras. Lelaki yang pernah begitu dekat dengan kehidupannya. Lita diam sejenak. Ia tidak tahu mengapa rasa sayang terhadap Fras tak mampu ia padamkan. Dua tahun sudah berlalu, tapi masih seperti kemarin saja peristiwa-peristiwa itu berlintasan dalam kepalanya.
Seekor kupu-kupu melintas di depannya. Lita tersenyum kecut. Dulu, tanpa canggung Fras bercerita apapun, termasuk tentang statusnya yang sudah berkeluarga. Mata Fras berbinar, ketika menceritakan Dani, putra semata wayang yang lincah, nakal, dan sekaligus manja. Juga tentang istrinya, Yanti, perempuan yang menurut Fras memiliki segalanya. Cerdas, cantik dan karirnya cemerlang,Tapi justru semua kelebihan yang dimiliki isterinya dianggap Fras sebagai biang kegagalan mereka menjaga keutuhan keluarga.
“Aku tidak pernah merasa nyaman, merasa tidak dibutuhkan. Aku tahu dia sibuk. Tapi aku ingin dia tetap menjalankan tugasnya sebagai isteri, sebagai wanita sebagaimana yang lainnya. Tapi mungkin ia tak menginginkannya. Tak ingin menjadi seorang istri seperti yang kuharapkan,” ujar Fras ketika itu. Kata-kata itu meluncur dengan tersendat-sendat. Seperti banyak batu yang menyumbat tenggorokannya.
**
Dulu, Lita sempat merasa aneh dengan sikap Fras. Terlalu banyak hal yang tidak pantas ia ketahui, dan Fras menceritakan semuanya. Semuanya.
Sebagai laki-laki, tidak bisa dipungkiri Fras penuh pesona. Sorot matanya tajam, senyumnya menghanyutkan apa saja, ada semaca kekuatan yang tak sungguh-sungguh ia mengerti. “Aku bisa saja membohongimu, menyembunyikan kondisiku dari hadapanmu, tapi untuk apa? Ketika nantinya kamu menerima aku tapi bukan aku apa adanya” Ucap Fras.
Lita menatap Fras sejenak. Seperti bingung dengan kata-kata itu. Lalu diam beberapa saat. Tak sebuah kata atau kalimat yang meluncur dari bibir Lita. Matanya menerawang jauh sekali. Lalu keduanya kian dekat. Perasaan aneh tumbuh dan bermekaran di hati keduanya. Lita sadar itu satu kesalahan, dan celakanya ia tak mampu untuk menolak atau menjauh dari Fras.
Beberapa waktu Fras menghiasi lebaran-lembaran hidup Lita. Senyum dan tatapan Fras membutakan semuanya. Membutakan pertimbangan dan saran dari teman maupun keluarganya.Lelaki yang menyimpan sepi dan gerimis di matanya.
***
Sekali waktu Lita ke rumah sakit. ketika Dani putra Fras dirawat tampa sepengetahuan Fras “Tante Lita” sapa Dani ketika Lita berada diambang pintu, Jantung Lita tiba-tiba berdegub kencang. Di samping Dani duduk Yanti ibunya. Wanita itu tampak lelah, tapi tetap duduk dan tersenyum sembari membelai rambut Dani. Sekuat tenaga Lita berusaha bersikap wajar. “Hallo Dani, gimana kondisinya?“ Lita balas menyapa sambil mencium kening Dani, lalu menyodorkan tangannya kea rah Yanti
“Apa kabar mbak? saya Lita.”
“Baik, silahkan duduk,” lirih perempuan itu membalas sapaan Lita.
Sejenak keduanya membisu. Dani terbaring. Tak berselang lama Lita kemudian membacakan buku sebagaimana permintaan Dani. Yanti hanya mengawasi, sampai kemudian Dani terlelap.“Kita perlu bicara,” Yanti berkata ramah.
Perasaan Lita bercampur aduk, Ia mengikuti perempuan itu menuju teras vaviliun rumah sakit.
“Setelah sekian lama, saya mengetahui bahwa cinta Fras tak lagi untukku. Aku tidak tahu benar sebabnya. Tapi yang kuketahui kemudian ada cinta lain yang bersemi diantara kami. Kenapa Fras begitu mencintaimu? Sejenak Yanti Diam menarik nafas nyaris putus asa “ Seandainya Dani tak terlanjur ada, masalah ini tentu tidak menjadi rumit. Akan kurelakan dia hidup bersamamu. Jujur aku marah dan cemburu. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang? Apa yang harus aku lakukan untuk merebut perhatiannya? Untuk membuat Fras tetap menjadi suamiku, menjadi ayah Dani, seperti sebelumnya?”
Seperti dihantam gempa dada dan kepala Lita bergetar hebat. kepalanya memberat. Ia tak menduga kata-kata ini akan meluncur dari bibir Yanti. Begitu putus asa, begitu tulus. Beberapa saat Lita dipenuhi rasa bersalah. Setelah mengatasi kegugupannya Lita berujar.
”Tidak ada yang bisa dilakukan mbak, kecuali mungkin, saling mengerti dan memahami,” Lita menelan ludah getir. “Sebagai wanita, sebagaimana yang dikatakan Fras mbak adalah sosok nyaris sempurna, punya segalanya. Tapi sesungguhnya hakikat sebuah hubungan mungkin adalah bagaimana kita menerima sesuatu diluar diri kita, saling melengkapi,
Selama ini mbak maupun Fras mungkin terlalu sibuk dengan konsep hidup masing-masing, dengan kebenaran masing-masing. Barangkali itu salah satu penyebabnya. aku tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini. apakah mbak Yanti, Fras, atau jutru aku sendiri,”Yanti menghela nafas. Matanya nanar. Sesaat keduanya kembali diam.
“Maaf mbak, sekarang saya harus pulang,”
Yanti menatap Lita, tersenyum meski tampak dipaksakan. Lalu mengganguk.
“Terimakasih sudah mau menjenguk Dani, terimakasih atas sarannya,”
Lita diam. Tak lama kemudian beranjak meninggalkan Yanti yang masih termangu sendiri.
****
Sesampainya di kamar, Lita menghempaskan tubuhnya. Lita menyesal, kenapa harus jatuh cinta dengan Fras. Bayangan Yanti yang putus asa, Bayangan Dani dan kemungkinan kehilangan ibunya jika Fras berkeras memilih Lita, lalu wajah Fras sendiri. Bayangan-bayangan itu bergantian bersarang di kepalanya.
“kenapa kau beri aku cinta tuhan kalau itu akan menyakiti orang lain”
Hampir semalaman Lita menangis. mengumpat, marah dengan dirinya sendiri. Kenapa begitu mudahnya tergoda. Ia tertidur pulas dalam keletihan semacam itu. Dering ponsel membangunkannya. Nama Fras tertampang dilayar ,Lita bimbang, ponsel berkali-kali masih berdering, Lita menarik napas gundah sampai akhirnya dering ponsel tak terdengar lagi. Lita menghela napas dalam. Ada rindu dan sebilah pisau yang menghunjam ke dadanya
****
Seekor kupu-kupu masuk dari jendela. Berputar-putar, hinggap dan menabrak dinding. Terbang lagi, berputar-putar, hingga kemudian ia berhasil keluar, menikmati pagi yang hangat, aroma bunga-bunga yang bermekaran, jalanan yang basah.
Lita aku ada khabar gembira” wajah Fras sumringah menyambut kedatangan Lita di sebuah bangku di kafe yang bisa menjadi tempat mereka bertemu selama ini. Lita menajamkan penglihatan, fokus ketangan Fras yang menggenggam selembar map berwarna merah.
Fras memperlihatkan lembaran ditangannya. ”Setelah sekian lama , akhirnya Yanti bersedia menandatangani surat perceraian ini,” Lita tertunduk. Matanya masih sembab. Fras tampak bingung.
“Ada apa?” Fras menyentuh pipi Lita, Gemetar Lita mulai terisak. “Aku tidak ingin menjadi sumber kehancuran keluargamu, biarkan aku pergi, memilih jalanku sendiri, jangan kau korbankan Yanti yang sangat mencintaimu. Juga Dani, mereka lebih membutuhkanmu”
Tangan Fras semakin kuat menggenggam tangan Lita “Tidak Lita, kamu bukan penyebabnya, tapi kami memang tidak saling cocok. Kami sendiri yang memutuskannya bersama, sudah begitu lama kami saling mengabaikan, kamu tahu itu Lita,” suara Fras terdengar parau,
“Fras, tidak ada wanita sempurna di dunia ini. demikian juga Yanti dan Aku. Tidak ada. Awalnya aku simpati dengan cerita-ceritamu. Tapi kemudian aku menyadari, bahwa kamu juga terlalu egois. Bahkan mungkin lebih egois daripada Yanti. Kamu mengejar kebahagiaanmu sendiri, kebahagia seperti yang ada di kepalamu. Kamu bukan hanya mengabaikan Yanti, tapi juga Dani. Bukankah kalian berdua sama-sama kejam,”
Fras bungkam. Lita berusaha menahan kepedihannya. “Keputusanku sudah final Fras. Aku tidak bisa biarkan aku pergi menjalani hidupku,” Lita melangkah ke mobilnya. Fras masih diam. Tak lama suara mobil melaju ke jalan raya. Fras tersadar dan lekas memburu, tapi terlambat.
*****
Lita memacu mobil lebih cepat, berusaha mendahului kendaraan lain, jalanan cukup padat, Lita ingin menghindar dari Fras, sejauh-jauhnya. Ia benci Fras. Benci dengan dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menghapus Fras dari kehidupannya, meski ia sendiri tidak yakin apakah berhasil atau tidak.
Sebuah bus sarat penumpang melaju dari berlawanan, Lita tak sadar mobilnya berada di jalur yang salah.
Seekor kupu-kupu melintas, Lita menatapnya. Seperti kupu-kupu yang sama yang datang tadi pagi. Mata Lita mengikuti arah terbangnya kupu-kupu itu. Klakson bus terlambat sampai ke telinga Lita. Sudah begitu dekat. Lita tersadar suara klakson nyaring. Tapi terlmbat.
******
Sebuah sore di akhir April. Seorang wanita di kursi roda menatap laut yang seolah tanpa tepi sore itu. Seorang laki berjalan mendekat. Dari arah yang berbeda seorang wanita menggandeng bocah kecil mendekat. Cakrawala memerah, sinar keemasan berlompatan bersama ombak yang berkejaran di sepanjang pantai. Angin sore yang lembut membelai rambut wanita yang duduk di kursi roda. Ia menoleh ke arah laki-laki itu, lalu beralih ke wanita dan bocah kecil itu. Ia tersenyum.
********
“Pernah aku begitu ingin hidup bersamamu, ya bersamamu.” sebuah suara berpendar dalam kepalaku. Dan aku tak tahu untuk apa pikiran-pikiran semacam itu terus tumbuh dan beranak pinak setiap waktu hingga sulit dikendalikan.
“Aku ingin seperti matahari, yang selalu tahu kapan harus pergi menunaikan kewajiban, dan pulang ketempatnya ketika waktunya tiba,” kau genggam tanganku, lalu kau tatap matahari yang separuhnya tertelan lautan.
Suara debur ombak itu, angin yang menderu, suara camar yang terbang sendirian. Bayangan-bayangan itu, muramnya masalalu membuat wanita itu terpaku, seolah terpisah dari dunianya.
“Lita, sudah hampir malam. Pulang ya?
Seekor kupu-kupu melintas, Lita menatapnya. Matahari menghilang di telan lautan.